Beberapa dari kita pasti banyak yang
sering menyesal setelah pulang berbelanja keperluan rumah
tangga minimarket/supermarket. Harusnya cuma beli pasta gigi, pulang
bawa pasta gigi plus sabun, permen, minuman dingin dan balsem.
Seringnya
kalau sudah begitu, dalam hati masih aja cari-cari pembenaran.
“Sabunnya kan murah, kena diskon karena beli pasta gigi yang ukuran
besar,” atau “Balsem di rumah tinggal dikit, buat persediaan, kan
balsem expired-nya lama.” Hehehe…jujur, saya sering banget ‘tidak
sengaja’ masuk dalam keadaan begitu.
Belanjaan keperluan rumah tangga sehari-hari seringnya habis pada saat yang berbeda untuk tiap macamnya. Saat gula sudah menipis, teh celup dan kopi masih banyak. Saat minyak goreng hampir habis, beras masih setengah karung. Kalau sudah begini, mau gak mau, terpaksa pergi membeli keperluan tersebut ke warung atau minimarket/supermarket terdekat.
Tapi, ya itu tadi, niatnya cuma mau beli gula sekilo, pulang dari belanja, bawa kantung kresek penuh belanjaan. Sabun cuci yang sebenarnya masih banyak di rumah, dibeli juga gara-gara “Lagi ada promo, ada hadiah piringnya.” Padahal piring hadiah sabun udah banyaaak banget di rumah. Blah!
Keadaan kayak gini sebenarnya gak sampai membuat galau, tapi cukup genggeus karena sering terjadi. Hal kecil yang tak perlu terjadi namun justru sering terjadi karena kita tidak menganggapnya penting saat itu terjadi. Bingung? Pegangan tiang. Saya mau coba kasih solusi. *Senyum paling kinclong, tring!*
Belanja Itu Terapi (Untuk Perempuan)
I always say shopping is cheaper than a psychiatrist.
-- Tammy Faye Bakker
-- Tammy Faye Bakker
Banyak orang melihat kegiatan berbelanja sebagai sesuatu yang harusnya dilakukan saat diperlukan saja. Seperti contoh saya di atas, saat keperluan rumah tangga sedang habis, mau gak mau kan harus pergi berbelanja. Begitu juga shopping di saat-saat istimewa seperti hari raya atau ulang tahun, walaupun tidak harus, tapi alasannya masih bisa ditolerir. Di luar itu, kita dianjurkan untuk sebaiknya waspada. Sebab ternyata berbelanja itu memang memberikan semacam rasa kecanduan yang kalau tidak dibatasi, gawat juga efeknya.
Apa sih yang bikin berbelanja itu jadi seperti candu, sampai-sampai ada orang yang kena predikat shopaholic karena tidak bisa menahan hasratnya untuk terus belanja dan menghabiskan uangnya? Pernahkah kita benar-benar merasakan ekstasi berbelanja yang sesungguhnya? Saya pernah baca sebuah artikel mengenai psikologi berbelanja.
Ekstasi saat berbelanja itu adalah saat
transaksi terjadi, istilahnya the ecstasy of purchasing. Kalau saya
rasakan sendiri, memang rasanya darah mengalir sedikit lebih kencang saat
mengeluarkan uang dari dompet dan menyerahkannya ke tangan penjual atau
kasir. Ada semacam rasa tidak rela, namun lebih besar lagi rasa
excitement karena sebentar lagi akan ada sesuatu yang baru yang akan
menjadi milik saya. Hihihi…coba deh, waktu transaksi di kasir, lebih
peka sama perasaan kita, mungkin memang dua hal itu yang akan terasa
mendominasi.
Namun begitu, beberapa penelitian mengatakan kalau belanja atau shopping bisa menjadi terapi yang baik untuk kesehatan jiwa (seorang perempuan). Wah asik, jadi semangat mau shopping!) :D
Mary Symmes, seorang pekerja yang khusus menangani masalah-masalah seputar kehidupan perempuan, di sebuah artikel Discovery Fit and Health, mengatakan kalau pembelian (purchasing) merupakan sebuah proses yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Saat berbelanja, laki-laki diumpamakan seperti pemburu (hunter), sedangkan perempuan diumpamakan sebagai pengumpul (gatherer).
Dan dalam
berbelanja, perempuan mengeluarkan kemampuan bawaan mereka (innate
skills) dalam menyeleksi sesuatu yang akan dibelinya. Wanita cenderung
membelanjakan uangnya untuk meningkatkan kualitas diri dan lingkungannya
(keluarga, misalnya), sehingga kegiatan berbelanja bagi wanita
merupakan sebuah kegiatan perawatan diri (jiwa) secara langsung.
Saya jadi manggut-mangut sendiri, membenarkan saat sedang stress atau tertekan, kalau dibawa shopping, perasaan jadi agak ringan, walaupun kemudian pusing lagi karena uang habis. Tapi sedikitnya saya memang merasakan efek terapi dari berbelanja beberapa kali. Khusus untuk saya yang tidak berkelebihan uang, berbelanja di minimarket saja sudah cukup untuk mengendurkan mumet di kepala saya. Bener, deh!
Jadi, ibu-ibu dan mbak-mbak, jangan ragu-ragu untuk pergi berbelanja saat pikiran lagi kusut. Seperti kata Tammy Faye Bakker (seorang penyanyi terkenal di US semasa hidupnya), “I always say shopping is cheaper than a psychiatrist.” Ahahaha …. Mending belanja daripada ke ahli jiwa pas lagi stress!
Tapi kalau udah begini, muncul masalah lanjutan. Bagaimana kalau malah tidak bisa menahan diri saat berbelanja? Jangankan jadi terapi, mungkin malah justru jadi bencana. Tabungan setahun bisa ludes, hutang kartu kredit bertumpuk dan over limit, suami manyun, anak memble. Wah, memang yang paling gampang kalau sudah begini, solusi secara teorinya adalah, “Get a grip of yourself!” alias jangan lepas kendali, dong
Walaupun penelitian ini ditujukan untuk kaum perempuan, saya rasa ini berlaku universal. Karena jaman sekarang, ‘heboh’ saat belanja itu bukan cuma dimonopoli perempuan saja. Buktinya, suami saya juga hobi sekali kalau diajak shopping. Yakin banget, banyak bapak-bapak jaman sekarang yang kayak suami saya.
Belanja Yang Pintar (Smart Shopping)
So, kalau mau kegiatan berbelanja menjadi sebuah terapi yang bisa memberikan refreshment untuk sesaat, saran saya cuma satu; Smart Shopping. Bagaimana caranya? Ini berdasarkan pengalaman saya selama ini, silahkan disimak.
1. Selalu, sekali lagi, selalu catat terlebih dahulu apa yang akan kita beli. Saya tahu, pada akhirnya nanti catatan itu seringnya tidak terlalu berdaya untuk menahan kita. Ya iyalaah, apalah daya selembar kertas? Tapi percayalah, kertas catatan belanja itu akan menjadi pegangan paling pertama yang bisa menimbulkan rasa bersalah kita saat mulai keluar dari jalur.
2. Cocokkan jumlah belanjaan kita dengan uang yang dibawa. Lebihkan sedikit untuk keperluan mendadak, seperti membeli minuman atau lupa membawa diapers ganti untuk anak saat berbelanja.
3. Cocokkan jumlah belanjaan kita dengan apa yang akan dipakai untuk membawanya keliling supermarket/ minimarket. Jangan cuma mau beli susu dan gula, terus ambil trolley, dengan alasan si kecil mau duduk. Aih, percaya deh, saat di kasir si kecil sudah tenggelam dalam belanjaan yang tidak ada dalam daftar sebelumnya.
4. Kalau bisa membawa belanjaan dengan kedua tangan, jangan ambil keranjang. Tangan yang sudah penuh, sudah pasti memberikan ruang yang terbatas untuk menambah belanjaan. Lagian, hitung-hitung olahraga otot tangan. Ugh!
5. Saat sudah di kasir, scan sekali lagi belanjaan kita. Ada kalanya saat mengambil sesuatu kadar kebutuhannya terasa besar. Tapi begitu harus membayar biasanya kadar kebutuhannya menciut 50%. Jadi, jangan langsung pasrah sama mbak kasir dulu, ya!
6. Diskon. Satu kata ini bisa jadi musuh dan bisa juga jadi teman saat berbelanja. Tergantung bagaimana kita menempatkannya. Tawaran potongan harga bisa menjadi sebuah godaan besar untuk membeli sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan saat itu. “A bargain is something you can't use at a price you can't resist.” (Franklin P. Jones). Yap! Tawaran potongan harga itu adalah sesuatu yang tidak kita butuhkan dijual dengan harga yang tidak bisa kita abaikan. Dilema? Nggak juga! Jadikan promo-promo potongan harga sebagai penolong. Begini caranya:
a. Jangan malas mengumpulkan katalog belanja dan memeriksa harga barang yang sama di tempat yang berbeda. Kamu akan takjub menemukan selisih harga yang lumayan besar kalau teliti.
b. Susun rencana belanja rutin berdasarkan promo yang ada di katalog. Terdengar ribet? Nggak! Percaya, deh, ini justru bagian dari terapi-nya. Saya sangat menikmati melihat-lihat produk apa saja yang masuk ke harga promosi bulan ini. Siapa tahu ada produk yang memang harus saya beli setiap bulannya.
c. Untuk produk yang usianya lama seperti diapers, sampo, sabun, deterjen, dan sebagainya, tidak ada salahnya membeli saat ada diskon atau promo, walaupun itu sedang tidak ada dalam daftar belanja.
Sekian teori smart shopping dari saya. Walaupun mungkin gak terlalu smart-smart banget, sih! Lagian yang udah-udah sih, teori tinggal teori, bulan madu hanya mimpi. Nyahahaa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar